BAB
II
ISI
2.1 Asuhan Keperawatan Pada Kasus DHF
2.1.1 Definisi DHF
Dengue
haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita
melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (Christantie Efendy,1995 ).
Dengue
haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang
dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam
atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam
tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina) (Seoparman ,
1990).
DHF
adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegypty dan beberapa nyamuk lain
yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara
efidemik. (Sir,Patrick manson,2001).
Dengue
haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus
yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypty (Seoparman, 1996).
Dari
beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dengue haemorhagic
fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus
yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan
nyamuk aedes aegypty yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala
utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam.
2.1.2 Penyebab ( Etiologi ) DHF
a.
Virus
dengue termasuk dalam kelompok arbovirus B. Dikenal 4 serotif virus dengue yang
saling tidak mempunyai imunitas silang.
b.
Virus dengue tergolong dalam family Flavividae
dan dikenal ada 4 serotif, Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika
berlangsungnya perang dunia ke II, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat
wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat
termoragil, sensitif terhadap in aktivitas oleh diatiter dan natrium
diaksikolat, stabil pada suhu 70 oC. Keempat serotif tersebut telah di temukan pula
di Indonesia dengan serotif ke 3 merupakan serotif yang paling banyak.
2.1.3
Pencegahan DHF
Prinsip
yang tepat dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut :
1. Memanfaatkan
perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan
pemberantasan vector pada saat sedikit terdapatnya kasus DHF/DSS.
2. Memutuskan
lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vector pada tingkat sangat rendah
untuk memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara spontan.
3. Mengusahakan
pemberantasan vector di pusat daerah penyebaran yaitu di sekolah dan rumah
sakit termasuk pula daerah penyangga di sekitarnya.
4. Mengusahakan
pemberantasan vector di semua daerah berpotensi penularan tinggi.
2.1.4
Patofisiologi
Virus
akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty. Pertama-tama
yang terjadi adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh
tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia
tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah
bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).
Kemudian
virus akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-antibody.
Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5
akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine
dan merupakan mediator kuat sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding
kapiler pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang
ekstra seluler.
Perembesan
plasma ke ruang ekstra seluler mengakibatkan berkurangnya volume plasma,
terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan
renjatan (syok). Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan
atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai
hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena.
Terjadinya
trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi
(protombin dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan
hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.
Adanya
kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya
cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan
pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui
infus.
Setelah
pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran
plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi
kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung,
sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami
kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa
mengalami renjatan.
Jika
renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan,
metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik.
Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler,
trombositopenia dan gangguan koagulasi.
Pada
otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh tubuh,
seperti di kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.
2.1.5
Tanda dan Gejala
a. Demam tinggi
selama 5 – 7 hari
b. Mual, muntah,
tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.
c. Perdarahan
terutama perdarahan bawah kulit, petechie, echymosis, hematoma.
d. Epistaksis,
hematemisis, melena, hematuri.
e. Nyeri otot,
tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.
f.
Sakit kepala.
g. Pembengkakan
sekitar mata.
h. Pembesaran
hati, limpa, dan kelenjar getah bening.
i.
Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan
darah menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan
lemah).
2.1.6
Klasifikasi Klinis
a. Derajat I :
Demam
disertai gejala klinis lain atau perdarahan spontan, uji turniket positi,
trombositopeni dan hemokonsentrasi.
b. Derajat II :
Manifestasi
klinik pada derajat I dengan manifestasi perdarahan spontan di bawah kulit
seperti peteki, hematoma dan perdarahan dari lain tempat.
c. Derajat III :
Manifestasi
klinik pada derajat II ditambah dengan ditemukan manifestasi kegagalan system
sirkulasi berupa nadi yang cepat dan lemah, hipotensi dengan kulit yang lembab,
dingin dan penderita gelisah.
d. Derajat IV :
Manifestasi
klinik pada penderita derajat III ditambah dengan ditemukan manifestasi
renjatan yang berat dengan ditandai tensi tak terukur dan nadi tak teraba.
2.1.7
Pemeriksaan
Penunjang
a. Darah
1) Trombosit
menurun.
2) HB meningkat
lebih 20 %
3) HT meningkat
lebih 20 %
4) Leukosit
menurun pada hari ke 2 dan ke 3
5) Protein darah
rendah
6) Ureum PH bisa
meningkat
7) NA dan CL
rendah
b. Serology : HI
(hemaglutination inhibition test).
1) Rontgen
thorax : Efusi pleura.
2)
Uji test tourniket (+)
2.1.8
Penatalaksanaan
a. Tirah baring
b. Pemberian
makanan lunak .
c. Pemberian
cairan melalui infus.
Pemberian
cairan intra vena (biasanya ringer lactat, nacl) ringer lactate merupakan
cairan intra vena yang paling sering digunakan , mengandung Na + 130 mEq/liter
, K+ 4 mEq/liter, korekter basa 28 mEq/liter , Cl 109 mEq/liter dan Ca = 3
mEq/liter.
d. Pemberian
obat-obatan : antibiotic, antipiretik,
e. Anti konvulsi
jika terjadi kejang
f.
Monitor tanda-tanda vital ( T,S,N,RR).
g. Monitor
adanya tanda-tanda renjatan
h. Monitor
tanda-tanda perdarahan lebih lanjut
i.
Periksa HB,HT, dan Trombosit setiap hari.
2.1.9 Asuhan
Keperawatan Pada Anak DHF
A.
Pengkajian
Pengkajian
merupakan tahap awal yang dilakukan perawat untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan sebelum melakukan asuhan keperawatan . pengkajian pada pasien dengan
“DHF” dapat dilakukan dengan teknik wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan
fisik. Adapun tahapan-tahapannya meliputi :
a. Mengkaji data
dasar, kebutuhan bio-psiko-sosial-spiritual pasien dari berbagai sumber
(pasien, keluarga, rekam medik dan anggota tim kesehatan lainnya).
b. Mengidentifikasi sumber-sumber yang potensial
dan tersedia untuk memenuhi kebutuhan pasien.
c. Kaji riwayat
keperawatan.
d. Kaji adanya
peningkatan suhu tubuh ,tanda-tanda perdarahan, mual, muntah, tidak nafsu
makan, nyeri ulu hati, nyeri otot dan sendi, tanda-tanda syok (denyut nadi
cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin dan lembab terutama pada ekstrimitas,
sianosis, gelisah, penurunan kesadaran).
B.
Diagnosa
keperawatan
Diagnosa
keperawatan yang mungkin muncul pada kasus DHF diantaranya :
1. Kekurangan
volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan,
muntah dan demam.
2. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
virus dengue.
3. Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada
nafsu makan.
4. Kurang
pengetahuan keluarga tentang proses penyakit berhubungan dengan kurangnya
informasi
5. Resiko
terjadinya perdarahan berhubungan dengan trombositopenia.
6.
Shock hipovolemik berhubungan
dengan perdarahan
C.
Rencana
Asuhan Keperawatan
1. Gangguan
volume cairan tubuh kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas kapiler, perdarahan , muntah dan demam.
Tujuan
:
Gangguan
volume cairan tubuh dapat teratasi
Kriteria
hasil :
Volume
cairan tubuh kembali normal
Intervensi
:
1) Kaji KU dan
kondisi pasien
2) Observasi tanda-tanda vital ( S,N,RR )
3) Observasi tanda-tanda
dehidrasi
4) Observasi
tetesan infus dan lokasi penusukan jarum infuse
5) Balance
cairan (input dan out put cairan)
6) Beri pasien
dan anjurkan keluarga pasien untuk memberi minum banyak
7) Anjurkan
keluarga pasien untuk mengganti pakaian pasien yang basah oleh keringat.
2. Hipertermi
berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
Tujuan
Hipertermi
dapat teratasi
Kriteria
hasil
Suhu
tubuh kembali normal
Intervensi
1) Observasi
tanda-tanda vital terutama suhu tubuh
2) Berikan
kompres dingin (air biasa) pada daerah dahi dan ketiak
3) Ganti pakaian
yang telah basah oleh keringat
4) Anjurkan
keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti terbuat
dari katun.
5) Anjurkan keluarga untuk memberikan minum
banyak kurang lebih 1500 – 2000 cc per hari
6) kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian Therapi, obat penurun panas.
3. Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada
nafsu makan.
Tujuan
Gangguan
pemenuhan nutrisi teratasi
Kriteria
hasil
Intake
nutrisi klien meningkat
Intervensi
1) Kaji intake
nutrisi klien dan perubahan yang terjadi
2) Timbang berat badan klien tiap hari
3) Berikan klien
makan dalam keadaan hangat dan dengan porsi sedikit tapi sering
4) Beri minum
air hangat bila klien mengeluh mual
5) Lakukan
pemeriksaan fisik Abdomen (auskultasi, perkusi, dan palpasi).
6) Kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian Therapi anti emetik.
7) Kolaborasi
dengan tim gizi dalam penentuan diet.
4. Kurang
pengetahuan keluarga tentang proses penyakit berhubungan dengan kurangnya
informasi
Tujuan
Pengetahuan
keluarga tentang proses penyakit meningkat
Kriteria
hasil
Klien
mengerti tentang proses penyakit DHF
Intervensi
1) Kaji tingkat
pendidikan klien.
2) Kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang
proses penyakit DHF
3) Jelaskan pada
keluarga klien tentang proses penyakit DHF melalui Penkes.
4) beri
kesempatan pada keluarga untuk bertanya yang belum dimengerti atau
diketahuinya.
5) Libatkan
keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien
5. Resiko
terjadinya perdarahan berhubungan dengan trobositopenia.
Tujuan
Perdarahan
tidak terjadi
Kriteria
hasil
Trombosit
dalam batas normal
Intervensi
1) Kaji adanya
perdarahan
2) Observasi tanda-tanda vital (S.N.RR)
3) Antisipasi
terjadinya perlukaan / perdarahan.
4) Anjurkan
keluarga klien untuk lebih banyak mengistirahatkan klien
5) Monitor hasil
darah, Trombosit
6) Kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian therapi ,pemberian cairan intra vena.
6. Shock
hipovolemik berhubungan dengan perdarahan
Tujuan
Shock
hipovolemik dapat teratasi
Kriteria
hasil
Volume
cairan tubuh kembali normal, kesadaran compos mentis.
Intervensi
1) Observasi
tingkat kesadaran klien
2) Observasi
tanda-tanda vital (S, N, RR).
3) Observasi out
put dan input cairan (balance cairan)
4) Kaji adanya
tanda-tanda dehidrasi
5) kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian therapi cairan.
2.2
Asuhan Keperawatan pada Kasus Diare
2.2.1
Definisi Diare
Diare
merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau tidak seperti
biasanya. Perubahan yang terjadi berupa perubahan peningkatan volume,
keenceran, dan frekuensi dengan atau tanpa lender darah, seperti lebih dari
3kali/hari dan pada neonates lebih dari 4 kali/hari.
Beberapa
pengertian lain tentang diare adalah sebagai berikut :
Ø
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk
cairan atau setengah cairan, dengan demikian kandungan air pada tinja lebih
banyak dari keadaan normal yakni 100-200 ml sekali defekasi (Hendarwanto,
1999).
Ø
Menurut WHO (1980) diare
adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari.
Ø
Diare ialah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali
pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak dengan konsistensi feses encer, dapat
berwarna hijau atau dapat bercampur lendir dan darah (Ngastiyah, 1997).
2.2.2
Etiologi (Penyebab) Diare
Beberapa
factor yang menyebabkan terjadinya diare diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Factor
Infeksi
Proses
ini dapat diawali dengan adanya mikroorganisme (kuman) yang masuk kedalam
saluran pencernaan yang kemudian berkembang didalam usus dan merusak sel mukosa
intestinal yang dapat menurunkan daerah permukaan intestinal sehingga
terjadinya perubahan kapasitas dari intestinal yang akhirnya mengakibatkan
gangguan fungsi intestinal dalam absorpsi cairan dan elektrolit. Adanya toksin
bakteri juga akan menyebabkan system transpor menjadi aktif dalam usus,
sehingga sel mukosa mengalami iritasi dan akhirnya sekresi cairan dan
elektrolit akan meningkat.
2) Factor
malabsorpsi
Merupakan
kegagalan dalam melakukan absorpsi yang mengakibatkan tekanan osmotic meningkat
kemudian akan terjadi pergeseran air dan elektrolit kerongga usus yang dapat
meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadilah diare.
3) Factor
makanan
Dapat
terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu diserap dengan baik dan dapat
terjadi penungkatan peristaltic usus yang akhirnya menyebabkan penurunan
kesempatan untuk menyerap makan.
4) Factor
psikologis
Dapat
mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltic usus yang dapat mempengaruhi
proses penyerapan makanan.
2.2.3
Patofisiologi
Mekanisme
dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah:
1. Gangguan osmotic
Adanya
makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik
dalam lumen usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektroloit ke
dalam lumen usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk
mengeluarkannya sehingga timbul diare.
2. Gangguan sekresi
Akibat
rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi
peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus dan selanjutnya
timbul diare kerena peningkatan isi lumen usus.
3. Gangguan
motilitas usus
Hiperperistaltik
akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga
timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan
bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya dapat timbul diare pula.
2.2.4 Manifestasi Klinis
Diare akut
karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam, tenesmus, hematoschezia,
nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling fatal dari diare yang
berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah kematian akibat dehidrasi
yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau gangguan biokimiawi berupa asidosis
metabolik yang berlanjut. Seseoran yang kekurangan cairan akan merasa haus,
berat badan berkurang, mata cekung, lidah kering, tulang pipi tampak lebih
menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala
ini disebabkan oleh deplesi air yang isotonik.
Karena
kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan asam karbonat
berkurang mengakibatkan penurunan pH darah yang merangsang pusat pernapasan
sehingga frekuensi pernapasan meningkat dan lebih dalam (pernapasan Kussmaul)
Gangguan
kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan
tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit), tekanan darah menurun sampai
tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, akral dingin dan kadang-kadang
sianosis. Karena kekurangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia
jantung.
Penurunan
tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun sampai timbul
oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatsi akan timbul penyulit
nekrosis tubulus ginjal akut yang berarti suatu keadaan gagal ginjal akut.
2.2.5 Penatalaksanaan
Melakukan rehidrasi pada pasien. Tindakan
rehidrasi ini dilakukan berdasarkan tingkat atau derajat dari dehidrasi,
apabila terjadi dehidrasi ringan – sedang dapat dilakukan rehidrasi secara oral
dengan memberikan cairan pedialyte (ricelite) kemudian menungkat ke makanan
biasa yang mudah dicerna, seperti : roti, nasi, biji – bijian, dan ASI.
Rehidrasi terbagi menjadi 2 tipe cairan yaitu :
ü Tipe satu yaitu
cairan formula lengkap yang mengandung NaCl, NaHCO3, KCl dan
glukosa. Formula ini dikenal dengan nama oralit.
ü Tipe dua adalah tipe
formula sederhana yang hanya mengandung NaCl dan sukrosa (garam dan gula) atau
karbonhidrat lainnya.
Rehidrasi ini dilakukan berdasarkan derajat
dehidrasinya dengan ketentuan pemberian sebagai berikut :
1.
Dehidrasi ringan : 1jam pertama 25 – 50
ml/kgBB selanjutnya 125 ml/kgBB/hari.
2.
Dehidrasi sedang : 1 jam pertama 50 – 100
ml/kgBB selanjutnya 125 ml/kgBB/hari.
3.
Dehidrasi berat : dapat dilihat pada rincian
sebagai berikut ;
Ø Bayi Baru Lahir
(Berat Badan 2 – 3 kg)
Kebutuhan cairan 125
ml + 100 ml + 25 ml : 250ml/kgBB/24 jam dengan pemberian cairan 4:1 (4 glukosa
5% + 1 NaHCO311/2%) dengan cara pemberian: 4
jam pertama 25ml/kgBB/jam, 20 berikutnya 150ml/kgBB/20jam.
Ø Bayi Berat Badan
Lahir Rendah (BB < 2kg)
Kebutuhan cairan :
250ml/kgBB/24jam, pemberian cairan adalah 4 glukosa 10% + 1 NaHCO311/2%,
dengan pemberian 4 jam pertama 25ml/kgBB/jam, 20 jam berikutnya 150
ml/kgBB/20jam.
Ø Usia 1 Bulan – 2
Tahun (BB 3 – 10 Kg)
Cara pemberiannya
adalah 1 jam pertama 40ml/kgBB/jam
kemudian dilanjutkan 7 jam berikutnya 12ml/kgBB/menit dan 16 jam kemudian
125ml/kgBB.
Ø Usia 2 – 5 Tahun (BB
10 – 15 kg)
Cara pemberian adalah
1 jam pertama 30ml/kgBB/jam kemudian dilanjutkan 7 jam berikutnya
10ml/kgBB/menit dan 16 jam kemudian 125ml/kgBB.
Ø Usia 5 – 10 Tahun (BB
15 – 25 kg)
Cara pemberian adalah
1 jam pertama 20ml/kgBB/jam kemudian dilanjutkan 7 jam berikutnya
10ml/kgBB/menit dan 16 jam kemudian 105ml/kgBB.
o
Observasi terhadap jumlah cairan yang masuk
dan keluar (mengukur status hidrasi), seperti tugor kulit, muntahan, membrane
mukosa, BB, mata dan ubun – ubun besar.
o
Memantau adanya tanda rejatan hipovolemik,
seperti ; denyut jantung atau nadi cepat tapi kecil, tekanan darah menurun dan
kesadaran menurun.
o
Pantau adanya tanda asidosis metabolic
o
Memberikan penjelasan kepada keluarga
tentang hal – hal yang menyebabkan kurangnya volume cairan, factor yang
menyebabkan terjadinya diare,dll.
Penatalaksanaan medis antara lain dalam
pemberian terapi adalah sebagai berikut ;
1.
Antibiotic hanya diberikan apabila ada
penyebab yang jelas, seperti kolera maka diberikan tetrasiklin 25 – 50
mg/kgBB/hari atau antibiotic lainnya sesuai dengan jenis penyebabnya.
2.
Obat spasmolitik seperti papaverin
3.
Obat antisekresi seperti asetosal,
klopromazin
4.
Memberikan nutrisi (makanan) setelah
dehidrasi teratasi yang mengandung cukup kalori, protein, mineral, dan vitamin
atau selama diare perlu ditambahkan jumlah kalori sebanyak 30%protein 3 – 5
g/kgBB/hari yang pada umumnya adalah 2,5 g/kgBB/hari.
5.
Pada bayi pertahankan pemberian ASI atau
lakukan pemberian penggantian air susu (bagi yang tidak minum asi), tapi
lakukan pengenceran, seperti pada pemberian penggantian air susu ibu (PASI)
pada hari pertama encerkan 1/3, hari kedua 2/3.
Apabila defekasi membaik, maka berikan penuh dengan sesuai dengan ketentuan
PASI. Adapun susu formula yang dianjurkan adalah susu dengan kadar laktosa
rendah, mengandung asam lemak tidak jenuh,seperti LLM, almiron,dll.
6.
Melakukan pemantauan dan pengukuran status
gizi atau tanda kecukupan nutrisi, seperti BB, tugor kulit, bising usus,
kemampun menelan, dan jumlah asupan.
7.
Memberikan penkes terhadap keluarga tentang
bagaimana mencegah makanan yang dapat menyebabkan diare, cara menstrerilkan
botol susu dan hygine lingkungan.
8.
Melakukan penggantian popok dengan sering
dan mengkaji setiap saat setelah buang air besar atau kecil
9.
Memberi salep pemulas atau bedak pada daerah
rectum dan perineum
10. Mengajarkan kepada
keluarga untuk menjaga kebersihan atau hygine pada daerah sekitar rectum dan
perineum serta cara mengganti popok dan bedak.
2.2.6 Asuhan Keperawatan Pada Anak Diare
i.
Identitas
Perlu
diperhatikan adalah usia. Episode diare
terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insiden paling tinggi adalah golongan
umur 6-11 bulan. Kebanyakan kuman usus merangsang kekebalan terhadap infeksi,
hal ini membantu menjelaskan penurunan insiden penyakit pada anak yang lebih
besar. Pada umur 2 tahun atau lebih imunitas aktif mulai terbentuk. Kebanyakan
kasus karena infeksi usus asimptomatik dan kuman enterik menyebar terutama
klien tidak menyadari adanya infeksi. Status ekonomi juga berpengaruh terutama
dilihat dari pola makan dan perawatannya .
ii.
Keluhan Utama
BAB
lebih dari 3 x
iii.
Riwayat Penyakit Sekarang
BAB
warna kuning kehijauan, bercamour lendir dan darah atau lendir saja.
Konsistensi encer, frekuensi lebih dari 3 kali, waktu pengeluaran : 3-5 hari
(diare akut), lebih dari 7 hari ( diare berkepanjangan), lebih dari 14 hari
(diare kronis).
iv.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah
mengalami diare sebelumnya, pemakian antibiotik atau kortikosteroid jangka
panjang (perubahan candida albicans dari saprofit menjadi parasit), alergi
makanan, ISPA, ISK, OMA campak.
v.
Riwayat Nutrisi
Pada
anak usia toddler makanan yang diberikan seperti pada orang dewasa, porsi yang
diberikan 3 kali setiap hari dengan tambahan buah dan susu. kekurangan gizi
pada anak usia toddler sangat rentan,. Cara pengelolahan makanan yang baik,
menjaga kebersihan dan sanitasi makanan, kebiasan cuci tangan,
vi.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Ada
salah satu keluarga yang mengalami diare.
vii.
Riwayat Kesehatan Lingkungan
Penyimpanan
makanan pada suhu kamar, kurang menjaga kebersihan, lingkungan tempat tinggal.
viii.
Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
a. Pertumbuhan
Ø
Kenaikan BB karena umur 1 -3 tahun berkisar antara 1,5-2,5 kg
(rata-rata 2 kg), PB 6-10 cm (rata-rata 8 cm) pertahun.
Ø
Kenaikan linkar kepala : 12cm ditahun pertama dan 2 cm ditahun
kedua dan seterusnya.
Ø
Tumbuh gigi 8 buah : tambahan gigi susu; geraham pertama dan gigi
taring, seluruhnya berjumlah 14 – 16 buah
Ø
Erupsi gigi : geraham perama menusul gigi taring.
b. Perkembangan
Ø Tahap
perkembangan Psikoseksual menurut Sigmund Freud.
Fase anal :
Pengeluaran
tinja menjadi sumber kepuasan libido, meulai menunjukan keakuannya, cinta diri
sendiri/ egoistic, mulai kenal dengan tubuhnya, tugas utamanyan adalah latihan
kebersihan, perkembangan bicra dan bahasa (meniru dan mengulang kata sederhana,
hubungna interpersonal, bermain).
Ø Tahap
perkembangan psikososial menurut Erik Erikson.
Autonomy vs
Shame and doundt
Perkembangn
ketrampilan motorik dan bahasa dipelajari anak toddler dari lingkungan dan
keuntungan yang ia peroleh Dario kemam puannya untuk mandiri (tak tergantug).
Melalui dorongan orang tua untuk makan, berpakaian, BAB sendiri, jika orang tua
terlalu over protektif menuntut harapan yanag terlalu tinggi maka anak akan
merasa malu dan ragu-ragu seperti juga halnya perasaan tidak mampu yang dapat
berkembang pada diri anak.
Ø Gerakan kasar
dan halus, bacara, bahasa dan kecerdasan, bergaul dan mandiri : Umur 2-3 tahun
:
a) berdiri
dengan satu kaki tampa berpegangan sedikitpun 2 hitungan (GK)
b) Meniru
membuat garis lurus (GH)
c) Menyatakan
keinginan sedikitnya dengan dua kata (BBK)
d) Melepasa
pakaian sendiri (BM)
ix.
Pemeriksaan Fisik
a) pengukuran
panjang badan, berat badan menurun, lingkar lengan mengecil, lingkar kepala,
lingkar abdomen membesar,
b) keadaan umum : klien lemah, gelisah, rewel,
lesu, kesadaran menurun.
c) Kepala :
ubun-ubun tak teraba cekung karena sudah menutup pada anak umur 1 tahun lebih
d) Mata :
cekung, kering, sangat cekung
e) Sistem
pencernaan : mukosa mulut kering, distensi abdomen, peristaltic meningkat >
35 x/mnt, nafsu makan menurun, mual muntah, minum normal atau tidak haus, minum
lahap dan kelihatan haus, minum sedikit atau kelihatan bisa minum
f) Sistem
Pernafasan : dispnea, pernafasan cepat > 40 x/mnt karena asidosis metabolic
(kontraksi otot pernafasan)
g) Sistem
kardiovaskuler : nadi cepat > 120 x/mnt dan lemah, tensi menurun pada diare
sedang .
h) Sistem
integumen : warna kulit pucat, turgor menurun > 2 dt, suhu meningkat > 375
derajat celsius, akral hangat, akral dingin (waspada syok), capillary
refill time memajang > 2 dt, kemerahan pada daerah perianal.
i)
Sistem perkemihan : urin produksi oliguria sampai anuria (200-400
ml/ 24 jam ), frekuensi berkurang dari sebelum sakit.
j)
Dampak hospitalisasi : semua anak sakit yang MRS bisa mengalami
stress yang berupa perpisahan, kehilangan waktu bermain, terhadap tindakan
invasive respon yang ditunjukan adalah protes, putus asa, dan kemudian
menerima.
x.
Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium
:
Ø Feses kultur
: Bakteri, virus, parasit, candida
Ø Serum
elektrolit : Hipo natremi, Hipernatremi, hipokalemi
Ø AGD :
asidosis metabolic ( Ph menurun, pO2 meningkat, pcO2 meningkat,HCO3 menurun ) Faal
ginjal : UC meningkat (GGA)
b) Radiologi :
mungkin ditemukan bronchopneumonia
B. Diagnosa
Keperawatan Diare
1. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan
sekunder terhadap diare.
2. Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan diare
atau output berlebihan dan intake yang kurang
3. Resiko peningkatan
suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi skunder terhadap diare
4. Resiko
gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan frekwensi diare.
5. Resiko
tinggi gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan BB menurun terus menerus.
6. Kecemasan
anak berhubungan dengan tindakan invasive
C.
Rencana Asukan Keperawatan
Diagnosa 1:
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan
cairan skunder terhadap diare
Tujuan :
setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam keseimbangan dan elektrolit
dipertahankan secara maksimal
Kriteria
hasil :
Ø
Tanda vital dalam batas normal (N: 120-60 x/mnt, S; 36-37,50 c,
RR : < 40 x/mnt )
Ø
Turgor elastik , membran mukosa bibir basah, mata tidak cowong,
UUB tidak cekung.
Ø
Konsistensi BAB lembek, frekwensi 1 kali perhari
Intervensi :
1. Pantau tanda
dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit
2. Pantau intake
dan output
3. Timbang berat
badan setiap hari
4. Anjurkan
keluarga untuk memberi minum banyak pada kien, 2-3 lt/hr
5. Kolaborasi :
Ø
Pemeriksaan laboratorium serum elektrolit (Na, K,Ca, BUN)
Ø
Cairan parenteral ( IV line ) sesuai dengan umur
Ø
Obat-obatan : (antisekresin, antispasmolitik, antibiotik)
Rasional :
1. Penurunan
sirkulasi volume cairan menyebabkan kekeringan mukosa dan pemekatan urin.
Deteksi dini memungkinkan terapi pergantian cairan segera untuk memperbaiki deficit
2. Dehidrasi
dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus membuat keluaran tak adekuat untuk
membersihkan sisa metabolisme.
3. Mendeteksi
kehilangan cairan , penurunan 1 kg BB sama dengan kehilangan cairan 1 lt
4. Mengganti
cairan dan elektrolit yang hilang secara oral
5. Kolaborasi :
Ø
koreksi keseimbang cairan dan elektrolit, BUN untuk mengetahui
faal ginjal (kompensasi).
Ø
Mengganti cairan dan elektrolit secara adekuat dan cepat.
Ø
anti sekresi untuk menurunkan sekresi cairan dan elektrolit agar
simbang, antispasmolitik untuk proses absorbsi normal, antibiotik sebagai anti
bakteri berspektrum luas untuk menghambat endotoksin.
Diagnosa 2 :
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak
adekuatnya intake dan out put
Tujuan
:
setelah
dilakukan tindakan perawatan selama dirumah di RS kebutuhan nutrisi
terpenuhi
Kriteria
:
Ø
Nafsu makan meningkat
Ø
BB meningkat atau normal sesuai umur
Intervensi :
1. Diskusikan
dan jelaskan tentang pembatasan diet (makanan berserat tinggi, berlemak dan air
terlalu panas atau dingin)
2. Ciptakan
lingkungan yang bersih, jauh dari bau yang tak sedap atau sampah, sajikan
makanan dalam keadaan hangat
3. Berikan jam
istirahat (tidur) serta kurangi kegiatan yang berlebihan
4. Monitor
intake dan out put dalam 24 jam
5. Kolaborasi
dengan tim kesehtaan lain :
Ø
terapi gizi : Diet TKTP rendah serat, susu
Ø
obat-obatan atau vitamin ( A)
Rasional :
1. Serat tinggi,
lemak,air terlalu panas / dingin dapat merangsang mengiritasi lambung dan
sluran usus.
2. situasi yang
nyaman, rileks akan merangsang nafsu makan.
3. Mengurangi
pemakaian energi yang berlebihan
4. Mengetahui
jumlah output dapat merencenakan jumlah makanan.
5. Mengandung
zat yang diperlukan , untuk proses pertumbuhan
Diagnosa 3 :
Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi dampak sekunder
dari diare
Tujuan
:
Setelah
dilakukan tindakan perawatan selama 3x 24 jam tidak terjadi peningkatan suhu
tubuh
Kriteria
hasil :
Ø
Suhu tubuh dalam batas normal ( 36-37,5 C)
Ø
Tidak terdapat tanda infeksi (rubur, dolor, kalor, tumor, fungtio
leasa)
Intervensi :
1. Monitor suhu
tubuh setiap 2 jam
2. Berikan
kompres hangat
3. Kolaborasi
pemberian antipirektik
Rasional :
1. Deteksi dini
terjadinya perubahan abnormal fungsi tubuh ( adanya infeksi)
2. merangsang
pusat pengatur panas untuk menurunkan produksi panas tubuh
3. Merangsang
pusat pengatur panas di otak
Diagnosa 4
:Resiko gangguan integritas kulit perianal berhubungan dengan
peningkatan frekwensi BAB (diare)
Tujuan
:
Setelah
dilakukan tindaka keperawtan selama di rumah sakit integritas kulit tidak
terganggu
Kriteria
hasil :
Ø
Tidak terjadi iritasi : kemerahan, lecet, kebersihan terjaga
Ø
Keluarga mampu mendemontrasikan perawatan perianal dengan baik dan
benar
Intervensi :
1. Diskusikan
dan jelaskan pentingnya menjaga tempat tidur
2. Demontrasikan
serta libatkan keluarga dalam merawat perianal (bila basah dan mengganti
pakaian bawah serta alasnya)
3. Atur posisi
tidur atau duduk dengan selang waktu 2-3 jam
Rasional :
1. Kebersihan
mencegah perkembang biakan kuman
2. Mencegah
terjadinya iritassi kulit yang tak diharapkan oleh karena kelebaban dan
keasaman feces
3. Melancarkan
vaskularisasi, mengurangi penekanan yang lama sehingga tak terjadi iskemi dan
iritasi .
Diagnosa 5 :
Kecemasan anak berhubungan dengan tindakan invasif
Tujuan
:
Setelah
dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam, klien mampu beradaptasi
Kriteria
hasil :
Mau
menerima tindakan perawatan, klien tampak tenang dan tidak rewel
Intervensi :
1. Libatkan
keluarga dalam melakukan tindakan perawatan
2. Hindari
persepsi yang salah pada perawat dan RS
3. Berikan
pujian jika klien mau diberikan tindakan perawatan dan pengobatan
4. Lakukan
kontak sesering mungkin dan lakukan komunikasi baik verbal maupun non verbal
(sentuhan, belaian dll)
5. Berikan
mainan sebagai rangsang sensori anak
Rasional :
1. Pendekatan
awal pada anak melalui ibu atau keluarga
2. mengurangi
rasa takut anak terhadap perawat dan lingkungan RS
3. menambah rasa
percaya diri anak akan keberanian dan kemampuannya
4. Kasih sayang
serta pengenalan diri perawat akan menumbuhkan rasa aman pada klien.
DAFTAR PUSTAKA
ü Alimun, Azis Hidayat. 2008. Pengatar
ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidanan. Jakarta :salemba Medika.
ü Latief.abdul,dkk. 1985. Buku kuliah 2
ilmu kesehatan anak.jakarta :infomedika
ü http://nursingbegin.com/askep-dhf/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar